Sekretarisku memberikan lembar penelepon yang masuk sepanjang rapat
berlangsung tadi. Mataku melirik salah satu nomor telepon yang kukenal
baik, nomor telepon Ibu. Aku menghela nafas, pasti ujung-ujungnya hanya
memintaku pulang. Kulewati nomor telepon tersebut dan melihat
nomor-nomor lain yang lebih penting karena semua kebanyakan adalah soal
bisnis. Soal ibu, nanti saja akan kuhubungi sepulang kerja. Aku tahu
pasti ibu hanya ingin aku pulang.
Memang sudah lebih dari tiga bulan aku tak pernah menyempatkan diri
pulang, sebelumnya aku pulang setiap hari jumat karena jarak dari
Jakarta Banten hanya kurang lebih tiga jam. Tetapi belakangan ini setiap
akhir pekan aku sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan Mita. Kalaupun
senggang dan meskipun Mita mengajakku pulang menengok ibu, aku lebih
memilih menghabiskan dengan bekerja di rumah. Pekerjaanku memang
menumpuk sejak kenaikan jabatan beberapa bulan sebelumnya. Toh meskipun
aku tak pulang, hampir setiap hari ibu selalu meneleponku walaupun
sekedar bertanya apa aku sudah makan, bertanya soal Mita dan atau
paling-paling Ibu bercerita tentang hal-hal kecil yang terjadi di rumah.
Malam hari sepulang kerja, aku menyempatkan diri makan nasi uduk
kesukaanku di warung pinggir jalan dekat rumah. Tempat ini terkenal
dengan jajanan murah meriah tapi lezatnya sehingga kadang-kadang kita
harus antri menunggu kalau sedang ramai pengunjung. Aku suka makan di
warung itu karena warung itu menjadi langgananku sejak aku masih pegawai
magang di perusahaan.
Karena aku pulang sedikit lewat dari waktunya, makanya tak heran warung
itu sudah penuh hingga beberapa orang antri di luarnya. Kepalang
tanggung aku memilih menunggu di dalam mobil sambil mengecek BB. Sederet
pesan singkat menunggu dan aku membacanya satu persatu termasuk pesan
dari ibu yang memintaku pulang kalau sempat. Kubalas pesan dari ibu
dengan menghubungi kembali, tak ada jawaban mungkin karena ibu sedang
sholat maka kutinggalkan pesan seperti biasa. Pesan yang mengatakan
tentang kesibukanku di kantor dan tidak memungkinkan untuk pulang akhir
pekan itu. Aku memang lebih suka menulis pesan daripada menelepon dan
mendengar suara kecewa ibu. Ketika sudah selesai, aku memasukkan BB
kembali ke dalam kantong kemejaku dan memandang keluar.
Tampak sebuah gerobak didorong oleh seorang wanita melalui jalan di
depanku. Dalam hati aku memuji kekuatannya karena aku saja belum tentu
sekuat dan semampu itu mendorong gerobak secepat itu. Ia memarkir
gerobak tepat di tengah-tengah antara mobilku dan warung kecil. Wanita
itu lalu masuk ke dalam warung kecil itu dan tak lama kemudian ia keluar
membawa sebungkus nasi.
Aku terkejut, nah lo aku sudah menunggu lama eh kok dia dengan mudah
mendapatkannya. Akupun keluar dari mobil dan siap-siap protes bersama
perutku yang juga sudah lapar. Aku memandangi wanita itu membuka penutup
gerobaknya dan tiba-tiba dua kepala kecil nongol dari dalamnya. Wajah
anak-anak itu tampak gembira melihat ibunya datang membawa sebungkus
makanan. Si ibupun mulai membuka bungkusan yang dipegangnya.
Aku memperhatikan sambil mengunci pintu mobilku pelan-pelan. Pemandangan
ini menarik hatiku karena si ibu menyuapi anaknya dengan sebungkus
makanan tanpa lauk apapun di dalamnya. Mungkin itu sebabnya ia dilayani
dengan cepat karena hanya membeli nasi. Tapi kedua anaknya tampak lahap
menyantap makanan itu. Aku melangkah melihat mereka, setengah tak
percaya melihat ketiganya tampak bahagia.
Terdengar salah satu anak berkata, “mak, kok tidak ikut makan? Emak juga belum makan seharian kan?”
Si Emak menjawab dengan senyum, “kalian makan saja dulu, kalau kalian sudah kenyang emak juga kenyang kok.”
Anak yang lain menjawab sambil bercanda, “emak kenyang makan angin ya,
hahaha…emak makan angin saja.” Si Emak hanya tersenyum, sementara
tangannya sibuk menyuapi kedua anaknya bergantian.
Salah satu anaknya menatapku yang berdiri memperhatikan mereka di
samping mobil, aku malu karena ia menangkap basah diriku yang sedang
menatapnya maka kulemparkan senyum pada si anak. Tapi ia sudah menatap
emaknya lagi dengan cuek.
“Mak, entar kalo aku dah gede, aku mau beli mobil kayak gitu buat emak.”
Kata anak itu dengan mulut penuh berisi nasi sambil menunjuk ke arah
mobilku. Aku tersenyum mendengarnya.
“Iya, iya… makanya makan yang banyak rajin sekolah supaya gak miskin terus kayak emak.” Jawab si emak
“Kalo aku, kalo aku, ntar mau beliin emak baju yang bagus terus rumah
yang gede buat emak.”sahut anak yang satu lagi tak mau kalah.
Si emak tersenyum, “iya iya, nanti kalau kalian udah gede, gak perlu
pikirin emak. Yang penting kalian berdua bisa hidup senang, emak juga
sudah senang. Hayo sekarang habisin cepat nasinya!”
Aku melangkah pelan-pelan menuju warung tenda sambil melirik sedikit ke
arah si emak. Pandangan kami bertemu dan dia mengangguk hormat padaku
yang berdiri di dekat pintu masih asyik memperhatikan mereka.
Sambil makan (akhirnya), aku memesan dua porsi lain lengkap dengan
lauknya dan kuminta pada penjual nasi mengantarkannya pada keluarga
itu. Aku keluar dari warung dan si emak berterima kasih padaku.
“Terima kasih ya om, terima kasih sudah membelikan kami makanan. Sudah
dua hari ini anak-anak saya Cuma makan nasi saja, terima kasih ya om.”
Aku mengangguk, “sama-sama bu, tadi saya lihat ibu juga belum makan kan?”
Emak itu tertawa kecil, ‘waah, namanya mamaknya yah harus dahulukan anak
dulu om. Saya mah gapapa kelaparan yang penting anak saya tetap bisa
makan.”
Aku terdiam dan kemudian pamit pada si Emak. Sebelum meninggalkan tempat
itu, aku sempat menoleh dan masih kulihat ketiganya tampak riang
gembira menikmati nasi pemberianku. Sementara sebaris kalimat Emak itu
terus terngiang dalam hatiku.
Dalam mobil, aku teringat ibuku. Ibuku juga seorang janda, yang
ditinggal pergi ayah sejak aku masih di sd. Ibu memang sangat keras
padaku, putra satu-satunya. Ibu selalu mendampingiku sepanjang hidupku
hingga aku memilih bekerja di luar kota tempat kami tinggal. Aku tahu
ibu bekerja tetapi ia tak pernah melewatkan semua peristiwa penting
dalam hidupku. Ibu ada setiap kali harus mengambil raportku, ibu hadir
di semua pertandingan basketku, dan setelah kami tinggal terpisah, ibu
selalu mengirimkan sesuatu yang spesial setiap kali aku berulang tahun.
Dari aku kecil, Ibu selalu terlihat kuat dan tidak cengeng, meskipun
baru beberapa tahun kemudian aku sadar mungkin itu karena ibu tak pernah
memperlihatkannya. Aku hanya melihat ibu menangis setengah histeris di
hari saat ayah meninggal dunia, tetapi itu adalah kali terakhir pula aku
melihat ibu memandang seorang lelaki selain diriku. Aku tak pernah
melihat ibu menangisi foto ayah atau melamun mengingat beliau, tapi aku
sering melihat mata ibu tampak merah membengkak dengan suara serak di
pagi hari.
Aku sering dipeluk ibu tanpa alasan ketika kami sedang berpiknik berdua,
ibu biasa melakukannya ketika melihat keluarga lain lengkap dengan
ayahnya bergembira di depan kami. Ibu yang memilih memelukku dalam diam
setiap kali aku bertanya, kenapa ia tidak menikah lagi atau menggodanya
ketika ada pria lain yang mulai mendekati ibu. Dalam diamnya ibu tak
pernah mengungkap seberapa besar cintanya pada ayah tetapi Ibu tak
pernah lupa melibatkan ayah setiap kali kami merayakan sesuatu yang
spesial. Kami memang selalu merayakan ulang tahun dan hari-hari spesial
lain termasuk hari pernikahan Ayah ibu, meskipun tamu tambahan kami
paling-paling hanya kakek dan nenek ataupun paman dan bibi-bibiku. Ibu
selalu mengenang ayah dengan cerita-cerita yang riang tentang tingkah
Ayah di masa lalu membuat seluruh keluarga merasa seakan-akan ayah masih
ada bersama kami.
Ibu, dengan kekuatannya mengajarkanku banyak hal. Aku tergolong sedikit
nakal saat duduk di SMP, berkali-kali ibu dipanggil karena aku ketahuan
melakukan kenakalan. Memukul teman, merokok bahkan entah berapa kali aku
bolos. Ibu datang dua kali meminta maaf pada pihak sekolah dan aku
ingat ketika kali terakhir datang, ibu berbicara denganku malam harinya.
“Mas heri, ini terakhir kali ibu datang ke sekolah mas heri. Kalau mas
heri masih ingin sekolah, maka mas Heri harus berubah. Ibu tidak akan
datang lagi ke sekolah mas heri karena kenakalan mas Heri. Kalau terjadi
lagi, ibu akan memberhentikan mas heri dari sekolah dan silakan mas
heri melakukan apapun yang mas heri mau. Tapi terus terang itu akan
sangat menyakiti hati ibu.” Dan itulah pertama kali setelah
bertahun-tahun, aku melihat mata ibu yang berkaca-kaca. Aku memang
berhenti berulah dan berubah meskipun di sekolah prestasiku tetap
biasa-biasa saja.
Aku juga pernah gagal meraih keinginanku menjadi polisi. Saat itu aku
menangis di kamar diam-diam karena merasa gagal memenuhi keinginan
kakekku dan ibu masuk kemudian memukul bahuku dengan keras. “Kenapa
harus menangis, mas Heri? Apa ada orang yang meninggal karena kegagalan
kamu? Ibu membesarkan anak bukan untuk jadi laki-laki cengeng seperti
ini! Ayo bangun! Cuci muka dan sholat, ngadu sama Allah!” Lalu sambil
menarik bantalku dan melihat ke arah lain, ibu berkata dengan suara
bergetar, “Sesedih-sedihnya ibu waktu besarin kamu sendirian gak pernah
ibu putus asa begitu. Jangan buat ibu malu sama almarhum ayah, mas.
Kalau gagal yah berusaha lagi. Kalau mas heri sedih, ibu jauh lebih
sedih.”
Aku mengusap airmataku yang tak sadar menetes. Ibu memang selalu
memberiku spirit. Ia mendampingiku saat aku harus membuat skripsi. Ia
menemaniku menulis berlembar-lembar lamaran kerja hingga tengah malam.
Bahkan setelah bekerja, ibu menghubungi semua teman-temannya meminta
mereka membantuku mencari tempat tinggal.
Ketika sudah bekerja dan pertama kali menerima gaji, aku justru
melupakan ibu. Saat itu gajiku habis karena dipakai mentraktir
teman-teman sekantor. Tetapi ibu sama sekali tak marah. Baru bulan
berikutnya aku menyerahkan sebagian kecil gajiku. Namun Ibu menerimanya
dengan penuh rasa haru saat aku menyodorkan amplop ke tangannya. Ibu
mengucapkan terima kasih dengan suara sangat lirih dan masuk ke kamar.
Dari balik pintu, aku mengintip dan melihat ibu menempelkan wajahnya ke
amplop pemberianku, airmatanya mengalir deras dengan bibir bergetar
sambil mengucapkan “Ya Allah, terima kasih.” berulang-ulang kali. Begitu
bersyukurnya dia atas rezeki yang tidak seberapa itu sampai membuat aku
merinding.
Sejak dulu Ibu selalu memberiku yang terbaik, ia selalu menomorsatukan
kepentinganku di atas segalanya, bahkan setelah dewasa. Setiap kali aku
pulang ke rumah, ibu menyediakan makanan kesukaanku dan melarang semua
orang makan sebelum aku. Dulu aku tertawa melihat perhatiannya yang
kadang-kadang berlebihan. Yang ia lakukan hanyalah sibuk memasak makanan
kesukaanku walaupun yang bisa kumakan hanya sedikit, melarang orang
berisik kalau aku sedang tidur di kamarku dan menawarkan seribu satu
kesukaanku hanya agar aku betah di rumah.
Sementara aku mengingat setahun belakangan ini entah sudah berapa banyak
acara yang ibu adakan kulewati karena pekerjaan bahkan termasuk saat
ibu mengadakan selamatan ketika aku naik jabatan. Berbagai alasan
kukatakan hanya agar ketidakhadiranku selalu dimengerti olehnya. Tetapi
meski tanpa air mata penyesalan dariku, ibu selalu terdengar gembira
setiap kali menelepon meskipun mungkin dia sudah tahu jawabanku.
Aku juga jarang memulai menelepon ibu kecuali kalau ada keperluan. Aku
memang bertanya bagaimana kesehatannya, tapi lebih karena sebagai basa
basi. Aku tak pernah bertanya ibu menyukai apa, ibu ingin oleh-oleh apa.
Aku juga tak pernah memberi ibu apa-apa, yaah memang setiap bulan ada
sejumlah uang dari hasil kerjaku yang kukirim ke rekeningnya tetapi aku
tak pernah memberi sesuatu yang spesial terutama di hari ulang tahunnya.
Ucapan selamat ulang tahunnya pun yang mengingatkan adalah
sekretarisku.
Lalu melihat seorang ibu dengan kedua anaknya, rela mengorbankan diri
kelaparan demi anak-anaknya. Ya Allah, betapa tak adilnya aku selama
ini. Boro-boro menanyakan ibu sudah makan atau belum, datang menengoknya
saja aku berat. Ibu masih sehat dan masih segar saja sudah kulupakan,
bagaimana kalau Allah menganggapnya sebagai tanda bahwa aku sudah siap
ditinggalkan ibu dan ia mengambil ibuku. Dadaku sesak dan airmataku
menetes tanpa sadar membayangkan bagaimana kalau ibu tak ada. Sampai
kapanpun, aku pasti memerlukan ibu.
Kupandangi sekali lagi kegembiraan di sampingku. Tersenyum ketika sebuah
ide muncul di kepalaku. Terima kasih Tuhan karena sudah mengingatkanku,
bisikku dalam hati. Kutarik rem tangan yang sedari tadi kupegang dan
menyetir menuju rumahku, rumah ibuku tersayang.
Tak sampai dua setengah jam kemudian, aku membangunkan ibu dan
memeluknya erat meminta maaf. Ibu yang tampak bingung, hanya mengangguk
bingung dan membalas pelukanku. Anehnya, meskipun tidak tahu kenapa aku
menangis menyesal, air mata ibu ikut menetes. Waktu kutanya, kenapa dia
menangis, eh dia malah menjawab, “yaah, mas pake nanya. Mas menangis ya
ibu menangis. Mana ada ibu tertawa sementara anaknya menangis? Mas kan
jantungnya Ibu.” Jawaban itu membuatku teringat kata-kata si Emak,
serupa tapi tak sama. Sama-sama menggambarkan bahwa hati mereka gembira
kalau anak gembira, sedih kalau anak sedih. Lalu adilkah kalau hati anak
gembira sementara hati ibu sedih?
Ibu, i love you so much……..
Dedicated for my lovely mother, great grandma and best friend for
me…love u so much, ibu Ramlah. Happy Birthday n wishing u always health
and happy.
Jika Anda tersentuh dengan cerita di atas, tolong “share” cerita ini
ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada
pada cerita di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita,
terimakasih.
No comments:
Post a Comment